Sepertinya tidak ada yang berubah pada diri perempuan itu. Wajahnya masih menyimpan keteduhan yang penuh semangat. Hanya saja dia sekarang lebih tenang dan bersahaja. Tidak seperti lima tahun yang lalu. Ketika itu, dia masih menjadi perempuan ekspresif, tomboy, dan menentang arus. Selain di kuping, beberapa bagian tubuhnya tergantung anting. Di hidung, bibir, pusar, dan pada tempat lain yang tersembunyi.
Hanya beberapa teman dekatnya yang bisa tahu anting di tempat rahasia itu, termasuk lelaki yang kini berada di hadapannya ini. Dulu, lelaki ini adalah teman terbaik yang dia miliki. Segala persoalan selalu ia diskusikan dengannya. Termasuk memperlihatkan ‘keunikan’ tubuhnya pada lelaki ini.
"Hai, Lin…" sapa lelaki itu. Ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan, sambil bibirnya terus mengulum senyum. "Gimana kabarmu…?" tanya lelaki itu setelah tangannya bersambut.
Wanita itu pun tidak kalah dalam mengumbar senyum. "Seperti yang kamu lihat sekarang, aku baik-baik saja. Lebih baik bahkan," jawab wanita itu enteng.
Mereka melepaskan tangan mereka dan mengalihkan perhatian pada fokus yang lain. Entah mengapa mereka melakukan itu. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal di kedua kornea mata mereka, sehingga masing-masing melepaskan pandangan. Mereka duduk berhadapan, namun tidak lagi saling memandang. Ada gejolak yang ingin mereka sampaikan, namun masing-masing menunggu agar yang lain menyampaikan lebih dahulu.
"Dunia ini memang kecil. Dulu aku berpikir tidak akan bisa bertemu kamu lagi. Aku tidak tahu alamatmu, bahkan nomor teleponmu. Tapi, malah sekarang aku bisa melihatmu di sini, di tempat dulu kita biasa bertemu," Lelaki itu membuka kekakuan.
"Aku juga begitu, Joe. Saat kamu memutuskan untuk menikah dengan wanita berkerudung itu, aku merasa tidak akan bisa menemuimu lagi. Sebab aku tahu pasti, bahwa istrimu tidak akan begitu saja mengijinkanmu keluar, walau hanya sekedar menghirup angin segar. Tapi nyatanya…," Perempuan itu juga menyampaikan hal senada. "Seolah ini adalah takdir yang direncanakan," sambungnya.
"Ya, seolah kita memang direncanakan Tuhan masih bisa berhubungan," Lelaki itu membetulkan letak duduknya. "Tapi kamu salah persepsi tentang istriku. Dia dulu memang terlihat konservatif. Bulan-bulan pertama menjadi suaminya, aku memang merasa demikian. Tapi semua dugaanku itu ternyata salah. Dia seorang istri yang baik dan pengertian. Dia bisa mengerti aktifitasku dan memberiku keleluasaan dalam bekerja. Bahkan aku diijinkan keluar malam agar aku bisa menemui sahabat lamaku." Lelaki itu menyampaikannya dengan nada bangga.
"Syukurlah kalau begitu. Masih merokok?" tanya perempuan itu sambil menyodorkan sebungkus rokok. Di bibirnya sudah terselip sebatang rokok yang siap dibakar.
Tanpa menjawab, lelaki itu langsung mengambil sebatang dan menyelipkannya di bibirnya. Perempuan itu dengan sigap menyalakan korek api dan menyulutnya.
"Thank’s,"
Perempuan itu kemudian membakar rokonya sendiri, menghisapnya dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. "Oh, Tuhan..., ini semua mengingatkanku ke masa lalu."
"Eh, bagaimana dengan kamu sendiri? Bagaimana suamimu? Anak-anakmu? Kamu masih kerja di perusahaan minyak itu?"
"Anakmu sudah berapa? Masih sering menyisakan waktu untuk menulis cerpen? Gimana suasana kerja di tempatmu?"
Pertanyaan demi pertanyaan meluncur deras dari masing-masing pihak. Setidaknya itu adalah standar pertanyaan klasik yang mesti diucapkan ketika dua sahabat dipertemukan. Sesekali mereka tertawa lepas ketika mengingat kejadian lucu di masa lalu.
Saking asiknya berbincang, mereka tidak sadar senja sudah merayap. Tetapi itu malah menambah energi mereka untuk terus melanjutkan obrolan. Lima tahun memang harus bisa menambah ensiklopedi cerita. Dan mereka menggunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Sebab pertemuan yang tak terduga tidak akan terulang lagi di lain waktu. Di masa yang akan datang, mereka bisa bertemu namun terlebih dahulu harus membuat janji. Terlebih dahulu harus menyesuaikan schedule masing-masing.
"Kamu masih tetap seperti dulu, Lin. Hanya saja sekarang lebih kalem dan bersahaja. Kamu tidak lagi memakai anting di hidung dan bibir kamu. Dan aku yakin, anting di pusar dan bagian tubuhmu yang lain juga sudah kamu tanggalkan," ujar lelaki itu kalem. Dia menatap sendu namun tajam ke arah perempuan di hadapannya.
Perempuan itu salah tingkah. Senyumnya setengah dipaksa. Ada rona menyemburat di pipinya. Tidak tahan dengan itu semua, ia segera memanggil pelayan café. "Mas, tambah minumnya…"
"Seperti yang tadi?"
"Nggak, aku minta cognac."
"Wow… ternyata seleramu tidak berubah."
"Kalau selera sih nggak berubah, cuma kuantitas yang berkurang. Ya… semakin tua seseorang makin harus banyak pertimbangan, walau hanya sekedar menikmati minuman."
‘Plok, plok, plok’. Lelaki itu tepuk tangan.
"Ngapain sih pakai tepuk tangan segala, kayak anak kecil aja…!"
"Jangan sewot dong... Ini hanya ekspresi kekaguman."
"Kamu mau nambah minum apa?"
"Aku whisky aja."
Capek ngobrol sambil duduk, mereka kemudian berjalan ke beranda café sambil membawa gelas minuman mereka. Di beranda yang menghadap langsung ke laut, mereka bisa menikmati jingga yang redup, seperti usia manusia yang makin lama makin terkikis. Ada beberapa pasang kekasih yang masih berjalan di pantai. Tubuh mereka terlihat seperti siluet. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi pokok pembicaraan orang yang memadu kasih tidak akan lepas dari janji sehidup semati, saling memuji, dan kata-kata gombal yang berbusa-busa.
"Joe, boleh aku minta alamat rumah dan nomor HP mu?" pinta perempuan itu sambil menatap lurus ke arah wajah lelaki di hadapannya. Tidak begitu jelas air mukanya, sebab lampu café yang redup tidak cukup menjadi penerang untuk menampilkan mimik apa yang sesungguhnya dari perempuan itu.
"Kenapa harus meminta? Aku juga berencana untuk memberikannya padamu." Jawab lelaki itu menjawab keraguan si perempuan.
"Apa aku tidak mengganggu jika aku menelponmu tengah malam, saat kamu, istri, dan anak-anakmu sedang tidur?"
"Aduh, Lin. Kan sudah aku katakan kalau istriku adalah orang yang sangat pengertian dan sabar. Sudahlah, kalau kamu ingin ngobrol denganku, telepon aja. Tidak usah sungkan." Nada bicara lelaki itu sangat meyakinkan. Kemudian dia mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompet dan mengulurkannya.
Tangan perempuan itu reflek menerima kartu itu dan membacanya sebentar. Ia lalu mengeluarkan HP-nya dan memejet nomor yang tertera di kartu itu. Beberapa saat kemudian HP lelaki itu berbunyi. "Itu nomerku," sahut perempuan itu setelah misscall.
"Ok," sahut lelaki itu sambil menyimpan nomor itu di memori HP-nya. "By the way, kapan kamu pulang?"
"Besok siang aku harus sudah berada di Bali. Dua hari kemudian aku harus mengikuti workshop di Bandung, dan minggu depan aku baru bisa berada di rumah," jawab perempuan itu lirih.
"Pekerjaan yang melelahkan. Tapi aku yakin kamu bisa melakukannya dengan sangat baik."
"Thank’s,"
Saat waktu menunjukkan jam 21.25 WIB, mereka sepakat untuk berpisah. Mereka bersalaman, dan saling memandang. Kata hati tak rela dengan perpisahan itu. Mereka kemudian berpelukan erat. Pelukan yang cukup lama untuk dua orang dengan predikat sahabat. Dengan pelukan itu, mereka menjalin kesepakatan-kesepakatan lewat getar-getar halus yang ditanamkan dari hati ke hati. Tepat jam 21.30 mereka berpisah dan berjalan ke arah yang berlawanan.
* * *
Seminggu setelah pertemuan itu.
Nada HP berbunyi, dan ….
"Hallo Lin, apa kabar? Kamu sekarang di Jakarta? atau masih melanjutkan tour kerja?"
"Aku udah di Jakarta, Joe. Kamu sekarang di mana? Di rumah atau …?
"Aku sedang di luar kota, menemui rekan bisnis. Ada apa, Lin?"
"Joe, aku mengalami hari yang melelahkan dan sekaligus membosankan. Bagaimana tidak? Aku harus bekerja pagi-lagi dan pulang malam tanpa energi lagi. Ketika aku pulang suamiku sudah terlelap, begitu juga anakku. Ketika bangun pagi, mereka sudah tidak dalam di rumah. Padahal aku ingin sekali-kali bercengkerama dengan mereka, berlibur bersama." Perempuan itu diam sebentar. "Joe… kamu masih di sana?"
"Ya. teruslah bicara. Aku mendengarkan."
"Kau tahu, aku menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Di usia perkawinanku yang kelima ini, aku tidak mendapatkan apa yang selama ini kucari. Sampai saat ini aku masih merindukan orang sepertimu. Lelaki yang bisa aku ajak berdiskusi, bercanda, bersenang-senang, bercinta dengan berbagai gaya. Bukan orang kaku yang hanya bisa menceramahi isteri."
Perempuan itu bicara dengan nada tersendat-sendat, seperti ada yang mengganjal di lidahnya. Sesekali nafasnya terdengar mendesah. Namun ia masih saja terus bicara. "Sampai kapan aku harus hidup seperti ini, Joe. Aku yakin, kamu mencintaiku. Namun kamu terlalu angkuh untuk mengakuinya. Aku juga tahu kamu bohong saat mengatakan bahwa istrimu adalah wanita yang sangat pengertian. Aku bisa membaca itu semua dari sorot matamu, Joe. Aku kenal betul siapa dirimu!"
"Lin, mungkin bukan saatnya lagi kita beromantisme dengan masa lalu. Yang lalu biar saja berlalu. Kamu adalah sejarah terbaik yang pernah aku rasakan. Kini kita harus menjalani sesuatu yang berbeda. Lakukan dan nikmati saja semuanya, pasti kita akan merasa bahagia."
"Kamu tidak mencintai aku lagi, Joe?"
"Lin, aku lelaki beristeri dan kamu perempuan bersuami. Itu sama saja mengkhianati pasangan kita. Bukankah kita dulu sering mengadvokasi pasangan karena perselingkuhan? Kita juga tahu keluhan dan penderitaan korban, kan?"
Lelaki itu terus bicara di sebuah kamar hotel yang mewah. Dia hanya memakai pakaian dalam. Sedangkan di atas ranjang, ada seorang perempuan muda yang terlelap tanpa busana, seperti bayi yang kedinginan. Tangan kiri lelaki itu memegang gelas dan tangan kanan merapatkan HP di telinganya. Ia duduk sambil berbicara dengan tenang, sesekali memandang nakal ke arah tubuh bugil di atas ranjang.
Di hotel lain yang tidak kalah mewah, seorang perempuan menelepon dari atas ranjang. Di sebelahnya ada seorang lelaki yang merangkulnya dengan penuh birahi. "Joe, apa aku tidak bisa memperoleh keintiman seperti dulu? Kurang panjangkah penantian selama lima tahun?"
Lelaki itu segera menutup teleponnya dan bergegas menindih tubuh bugil yang molek.
"Siapa yang menelepon?"
"Teman lama."
"Bukan isterimu, kan?"
Pertanyaan yang tidak butuh jawaban. Lampu kamar kembali meredup.
***
Di hotel yang lain.
"Siapa? Pacar atau suamimu?"
"Kawan lama…"
"Kawan lama..?! Dengan kawan lama merengek manja seperti itu?"
"Kenapa? Cemburu? Ingat, kamu kubayar bukan untuk mencampuri urusanku. Mau kawan, mau pacar, mau suami, itu urusanku. Urusanmu adalah bagaimana kamu bisa memuaskan aku. Titik!"
Dan malam pun berlanjut. Semakin nisbi dan tidak berarti. * * *
Jogja, 2006 04
Tidak ada komentar:
Posting Komentar