Pagi sungguh suram. Mendung menggantung di angkasa. Murka hitam yang lembab menjadi dinding tebal, memisahkan angkasa dari pandangan ke arah langit. Entah langit yang mana, sebab kata ayahku dulu, langit ada tujuh tingkat. Yang jelas warna kelam selalu menimbulkan giris dan muram.
Semua itu tidak menghalangi perempuan setengah umur untuk datang di taman bunga. Sesungguhnya sekarang ini bukan musim bunga bermekaran. Namun perempuan itu dengan langkah pasti dan tenang, rutin membesuknya. Dia bagai dokter yang selalu ingin mengikuti perkembangan pasiennya. Seperti seorang kekasih yang memendam kerinduan yang menggumpal menjadi batu-batu di hatinya. Mungkin dengan selalu datang ke taman akan menjadi air yang memecah batu-batu. Waktu menjadi sarana yang ampuh untuk menidurkan tatapan mata dan gunjingan orang sekitar. Ia selalu datang saat fajar mulai merekah, lalu pulang saat matahari mulai mencapkan kuku-kukunya yang panas di bumi. Begitu setiap hari. Berulang-ulang dan tiada bosan.
Usianya memang tidak lagi muda, namun guratan waktu tidak mampu memahatkan keriput di wajahnya. Bentuk mukanya oval, alisnya tebal, matanya bulat indah, kulitnya bersih, dan bibirnya selalu merinai senyum. Tanpa make up perempuan itu telah menjelmakan dirinya sebagai sosok yang indah. Selalu saja ada lelaki yang menoleh ke arahnya jika ia berjalan ke taman. Auranya menebar pesona yang tak terbantahkan. Para lelaki hanya berani memandang, tanpa celoteh, siulan, apalagi godaan. Mereka hanya menikmati keindahan sempurna itu melintas, menikmatinya sampai sosok itu hilang dalam rimbun taman. Walau tidak terkatakan, senyum lelaki yang melihatnya selalu menyiratkan letupan birahi, seperti kawah gunung berapi yang bergelegak ingin muntah. Anehnya, tidak ada satu pun dari mereka yang tahu namanya. Perempuan itu memang bukan warga asli. Dia pendatang. Ya, pendatang yang datang diam-diam dalam malam.
***
Sepuluh tahun lalu ....
Malam begitu pekat. Hujan turun amat lebatnya hingga tetesannya bagai jarum yang menusuk, menembus pori-pori dan menghujam sampai ke tulang. Tidak ada cahaya selain kilat yang begitu perkasa. Guntur yang mengiringi menyiutkan nyali, menggelegar menyiratkan kemarahan teramat dalam. Bayang-bayang hitam pepohonan seolah ingin menerkam siapa saja yang mengganggu kegelapan. Jiwa-jiwa yang ketakutan bersembunyi di balik selimut.
Semua itu tidak berarti bagi sesosok perempuan. Tubuhnya yang menggigil, terseok meretas jalan yang samar-samar. Tangannya menggapai-gapai seolah ingin ada seseorang menuntunnya. Sesekali matanya dipicingkan agar bisa melihat jalan saat petir menyambar pucuk-pucuk pepohonan. Ia tidak tahu kapan mesti menghentikan langkahnya. Satu yang ada dalam pikirannya, berteduh. Namun tidak ada satu pun rumah yang bisa ia singgahi walau hanya sebentar. Semua pintu telah menutup diri dari tamu. Perempuan itu benar-benar tenggelam dalam kegelapan, hanyut dalam hembusan angin beku.
Sontak wajahnya yang pucat berubah sedikit cerah. Di ujung matanya ia bisa melihat gardu ronda yang kosong. Ya, beberapa saat lagi ia akan sampai di sana. "Terima kasih, Tuhan," batinnya. Ia lalu berupaya mempercepat langkahnya. Agak susah sebenarnya ia melangkah, sebab ia memakai kebaya yang mengharuskan perempuan berjalan setapak demi setapak. Tangan kanannya beberapa detik sekali meniriskan air yang mengalir di wajahnya. Sedangkan tangan kirinya mengapit tas kumal di ketiaknya.
Sampai di gardu ronda, ia segera merebahkan tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal. Dadanya yang busung turun naik. Meski begitu ia terlihat begitu bahagia. Tidak lama kemudian, dengan pakaian yang masih basah, ia terlelap.
Malam masih menyisakan kegetiran. Angin masih berlomba-lomba membuat ombak di udara. Petir terus menancapkan meteor ke dalam perut bumi. Gelegak tawa halilintar berhamburan memecah keheningan. Semuanya tidak berarti bagi perempuan itu. Ia tergolek lemas. Jiwanya melayang. Entah bermimpi atau ia telah mati.
***
Aneh. Malam yang begitu mengerikan tiba-tiba saja berubah menjadi pagi yang sempurna. Sama sekali tidak tersisa akibat peristiwa semalam, kecuali beberapa dahan pohon yang patah karena terjangan angin. Semburat matahari nyalang membara. Warnanya emas keputih-putihan. Hangatnya menerobos setiap celah, mencairkan kebekuan. Sehangat itulah perbincangan orang kampung pagi itu. Penuh semangat mereka membicarakan seorang perempuan yang ditemukan salah seorang warga di gardu ronda. Sekarang ia sudah dibawa ke rumah Lurah.
"Orang mana sih perempuan itu?"
"Mana aku tahu. Yang jelas dia bukan warga sini."
"Apa dia orang kampung sebelah? Maklum saja warga kampung sebelah kan sekarang pada ngungsi akibat rumahnya tenggelam lumpur."
Dengan berlagak, "perempuan itu bukan warga kampung sebelah. Aku kenal semua penduduk sana."
Makin bingung, "lantas orang mana?"
"Mana aku tahu...."
"Ada yang kenal dengan perempuan itu, nggak? Kamu tahu nama perempuan itu?"
"Mana aku tahu...."
Lurah di rumahnya juga sibuk bertanya.
"Namamu siapa, nduk?"
Perempuan itu tidak menjawab. Ia hanya mengitarkan pandangannya. Matanya nyalang aneh.
"Nduk, kamu orang mana, dan untuk apa kamu datang ke sini?"
Pandangan perempuan itu akhirnya tertuju pada wajah Lurah yang hanya beberapa centi saja dari wajahnya. Sehingga kumisnya yang tebal dan menjorok itu bagai bulu landak. Mata mereka beradu. Pertarungan dingin itu hanya berlangsung sebentar. Lurah mundur dan duduk di kursi yang agak jauh dari letak duduk perempuan itu.
"Bicaralah, nduk. Ini demi keamanan bersama. Setiap warga negara harus punya nama, KTP, dan SIM bila perlu. Bila ada warga lain yang ingin menginap dua kali dua puluh empat jam di sini harus lapor dulu. Aku bukan bermaksud apa-apa, ini semua demi tertibnya administrasi kampung sini."
Tidak ada tanda-tanda perempuan itu mau buka suara. Semua pertanyaan Lurah lenyap begitu saja. Ia bahkan tidak bergeming sedikitpun dari posisinya semula. Ia duduk sambil menselonjorkan kakinya di atas dipan. Wajahnya masih pucat. Pakaiannya yang basah diganti oleh warga lain, yang dengan sukarela memberi pakaian kering.
"Mungkin dia bisu, Pak Lurah," bisik salah seorang pamong desa. Lurah manggut-manggut. Kemudian ia mengajak beberapa orang untuk berdiskusi menyangkut nasib perempuan itu. Perbincangan mereka terlihat seru. Asap rokok mengepul, membentuk irama yang bisu. Asbak sudah penuh puntung, namun bibir mereka tak henti-henti memamerkan keahlian menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan asap jauh-jauh. Akhirnya hening. Sepertinya sudah ada kesepakatan, hal ini terlihat ketika beberapa pamong yang tadi berkumpul, bubar.
***
Akhirnya rumah kecil dan sangat sederhana di pinggiran kampung itu pun jadi. Hanya ada sebuah kamar, dapur kecil dan kamar mandi. Rumah itu dibangun warga untuk perempuan misterius itu. Perempuan itu pun diboyong ke rumah itu disaksikan semua warga. Perempuan itu menjadi pengantin yang akan dijemput mempelai lelakinya. Rautnya berbinar-binar. Langkahnya pelan namun pasti. Dengan menempati rumah itu, maka resmilah dia menjadi warga kampung. Karena ia sebatangkara, maka tiap hari ada saja penduduk yang mengirim makanan, baik yang sudah matang maupun yang belum. Tetapi perempuan itu masih diam. Hanya senyum yang selalu mengembang di bibirnya yang ranum. Semakin yakinlah semua warga kalau dia orang yang bisu.
Tetapi kejadian aneh berlangsung beberapa minggu kemudian. Perempuan itu mengunci diri di dalam kamar. Ia tidak keluar barang sekejap. Kalau ada yang memberi makanan, ia terima melalui lubang angin di bawah pintu. Semua warga kampung bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi padanya? Seperti biasanya, pertanyaan tetap menjadi pertanyaan. Jawaban yang mereka inginkan tidak bisa didapatkan dengan mudah.
Persis enam bukan setelah mengunci diri, perempuan itu keluar. Malam hari. Ia tergopoh-gopoh, tetapi langkahnya sangat berat. Beberapa potong pakaian ia bawa. Ia sendiri memakai pakaian longgar. Terlihat gemuk dan berisi. Entah siapa yang menunjukkan arah, perempuan itu langsung menuju taman. Taman itu memang dibangun untuk rekreasi warga. Tidak begitu luas tapi sangat asri. Aneka bunga ditanam di sana. Dibangun pula sarana bermain untuk anak-anak, juga tempat duduk permanen untuk bersantai. Kebetulan saat ini bunga-bunga lagi bermekaran. Wanginya menusuk hidung dan memberi isyarat kepada syaraf untuk menoleh dan singgah.
Ada beberapa jenis bunga yang batangnya tinggi dan rimbun. Di sanalah perempuan itu akhirnya berada. Ia datang bukan untuk melepaskan penat. Ia juga tidak menikmati bulan purnama. Begitu tiba, perempuan itu langsung menggelar selembar jarit dan begitu saja ia terlentang. Keringatnya mengalir dan menyatu dengan bajunya. Nafasnya tersengal-sengal, memburu. Ia tampak menahan sakit teramat sangat. Matanya sebentar-sebentar terpejam, menahan nafas, sementara kakinya ngangkang lebar-lebar. Sedang jaritnya terangkat tinggi di atas dengkul. Kulitnya betisnya yang bersih dan indah malam itu hanya disaksikan oleh bulan yang malu-malu.
Beberapa saat kemudian suara kecil melengking tinggi. Namun hanya sebentar. Perempuan itu sudah duduk sambil menimang bayi merah penuh ceceran darah. Di wajah bayi mungil itu telah terbekap pakaian sehingga bayi itu diam. Hening. Lalu sepi seperti semula. Perempuan itu segera menggendong bayinya ke rerimbunan taman yang letaknya agak jauh dari tempatnya beranak. Tertatih-tatih. Selangkangannya masih mengeluarkan darah. Wajahnya pucat layu. Ia segera menggali lubang dalam-dalam, menaruh bayinya di dalam dengan beralaskan pakaian penuh simbah darah, dan menguburnya rapat-rapat. Lalu ia menanam bunga puring di atasnya.
Selesai, ia pun segera meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumahnya. Sebentar-sebentar ia berhenti dan memegang perut bagian bawah. Meringis tertahan. Sesampai di rumah, ia mengunci pintu dan kembali mengurung diri.
Tetapi sebulan kemudian ia keluar rumah dengan wajah yang berbeda dari biasanya. Wajahnya nampak berseri. Senyumnya kembali merekah mawar. Pesonanya memancar indah. Tetapi ia masih membisu. Ia menyapa orang sekitar dengan anggukan dan senyum. Setiap pagi ia selalu menuju ke taman. Duduk di dekat ayunan, memandangi, tersenyum, bahkan menunjuk-nunjuk, seolah ada orang lain yang diajak bicara. Kadangkala ia bertingkah seperti menimang, menuntun, dan bersenandung kecil.
Ketika dia bernyanyi itulah beberapa orang tahu kalau dia tidak bisu. Ia bisa bicara. Kadangkala seperti ibu yang meninabobokkan bayi, kadang berteriak melarang anak kecil untuk tidak berdiri di atas pagar, dan kadang tertawa renyah sambil mengayunkan ayunan.
Ia bahagia, namun orang lain menganggap aneh. Ia suka cita, tapi orang lain dianggap gila. Ia sama sekali tidak menggubris pandangan orang di sekitarnya. Perempuan itu sangat menikmati yang dia lakukan saat itu. Dia selalu datang pagi hari, ketika taman masih sepi, jadi tidak banyak orang yang tahu pasti apa yang dia lakukan. Hanya beberapa saja yang kebetulan lewat dan mengetahui tingkah polahnya.
"Perempuan itu bisa bicara? Kamu tidak ngigau, kan?"
"Sumpah! Aku tahu dengan mata kepalaku sendiri saat lewat taman. Coba kalian lihat sendiri saat pagi, sebab ia selalu datang ke taman pagi hari."
"Emang dia bicara dengan siapa?"
"Itulah anehnya. Kusaksikan dia bicara sendiri, kadang tersenyum, kadang seperti marah-marah, dan pada saat lain dia bicara lemah lembut."
"Apa perempuan itu gila, ya..?"
"Mana kutahu…."
"Sebaiknya esok pagi kita datang ke taman dan lihat sendiri. Biar hal ini tidak menjadi fitnah. Iya, kan?"
"Setuju…."
"Aku juga…."
***
Begitu pagi menjelang, perempuan itu sudah bergegas menuju taman. Setiba di sana, perempuan itu langsung duduk dan menghadap ke arah ayunan. Sebentar kemudian ia tersenyum. Gayanya seperti mengawasi tingkah laku anaknya yang sedang bermain. Tidak berapa lama kemudian, tubuhnya merendah dan kedua tangannya terbuka lebar. Lalu ia terlihat seperti mendekap erat dan menciumi penuh kasih sayang. Perempuan itu sama sekali tidak sadar beberapa pasang mata mengawasinya terbelalak di balik gerumbul bunga yang tumbuh cukup tinggi.
"Kamu rindu sama emak, nak? Emak juga kangen sama kamu. Bermainlah dulu, emak awasi kamu dari sini. Tapi jangan naik di pagar ya, kamu bisa jatuh. Eh, tapi jangan pergi dulu, emak mau cerita."
Perempuan itu lalu terlihat seperti menuntun ke arah ayunan. Sambil duduk, ia berkata, "Nak, kamu semalam tidur nyenyak, kan? Tidurlah yang nyenyak dan banyak makan, sebab sebentar lagi bapak mau datang. Kamu nggak kangen sama bapak? Bapak akan senang jika melihatmu gemuk. Bapak juga akan bawakan kamu banyak mainan. Kamu senang, kan? Nah, kalau begitu, kamu harus pintar-pintar jaga diri, sebab emak tidak bisa menemanimu. Emak janji, jika nanti sudah saatnya, emak akan selalu berada di sampingmu. Bersabarlah, nak. Bila bapakmu sudah pulang dan membawa ganti rugi tanah yang tenggelam lumpur itu, kita akan hidup bersama. Nah, sekarang naiklah ayunan itu, biar emak yang mendorong kamu."
Perempuan itu lalu mengayunkan ayunan. Terdengar ia tertawa-tawa gembira.
"Hi…hi…hi…."
"Pegangan yang erat!"
"Ha…ha…ha…."
"Awas! Jangan menoleh ke belakang…!"
"Ha…ha…hi…hi…."
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar